Oleh:
Pire’ Paressei
“Sesekali mampirlah ke tempatku. Aku akan menghidangkan secangkir
kopi untukmu.” Sebuah pesan di kotak masuk akun jejaring sosialku. Untuk
kesekian kalinya dia menawariku kopi buatannya. Seharusnya itu adalah tawaran
yang menarik. Tapi entahlah, sampai saat ini aku belum berminat menerimanya.
“Aku
yakin, kopi racikanku tidak akan kalah lezat dibandingkan kopi-kopi yang sering
kau minum di warung kopi.” Sederet kalimat yang sengaja memancing minat. Mungkin
saja. “Tapi ini bukanlah sekedar rasa secangkir kopi, ini adalah prinsip.”
Hanya dalam benakku. Tentu aku tak mau mengecewakannya dengan mengatakan itu
langsung padanya. Menikmati kopi di warung-warung yang berbeda melahirkan rasa
tersendiri. Aku merasa dengan beragamnya tempat yang kusinggahi, maka banyak
pula rasa yang kudapat dari masing-masing gelas kopi itu. Tidak monoton dan
membosankan. Dan yang terpenting adalah tak ada rasa yang mengikat.
Rasa
terikat yang membuat ketergantungan, yang akan menimbulkan masalah di kemudian
hari. Dan itu telah terjadi padaku. Pernah sekali waktu aku kecanduan kopi
racikan khas dari seorang perempuan. Zailah namanya. Caranya memadukan antara
gula dan kopi, juga cara menyuguhkannya, kurasa tak ada yang mampu menandinginya
dalam hal itu.
“Bagaimana
kau bisa meracik kopi senikmat ini?” Tanyaku padanya sembari mencicipi kopi
yang dia sajikan dalam gelas berwarna hijau lumut. Sambil tersenyum, dia
menggelengkan kepala. Bibirnya yang padat tak hentinya menyunggingkan senyum
setiap kali melihatku meraih gelas kopi itu. Lalu kepalanya dia sandarkan di
bahuku.
“Mengapa
kau tak mau mengajariku cara meracik kopi yang nikmat?” tanyaku seraya mengusap
kepalanya dengan lembut.
“Aku
takut.” Jawabnya singkat.
“Kenapa?”
“Kalau
kau bisa membuatnya sendiri, aku khawatir kau tak akan datang lagi padaku,
tidak ada lagi alasan yang bisa membawamu ke sini. Aku tahu, kau datang kemari
hanya untuk menikmati kopi buatanku kan?” dia menarik kepalanya dari bahuku,
lalu menatapku dengan sorot mata yang lembut. Aku seperti seorang terdakwa yang
duduk lesu di kursi pesakitan saat mendengar vonis yang dia jatuhkan padaku.
Sorot matanya tetap lembut dan tenang, tapi hatiku berkecamuk. Aku harus
menjawab apa?. Bibirnya kembali mengembangkan senyum, senyuman yang khas, yang
pada akhirnya selalu kurindukan. Tak ubahnya rasa kecanduan pada kopi yang
selalu dihidangkannya untukku.
“Kopi
ini bukan sekedar perpaduan antara bubuk kopi dan gula, tapi ada banyak hal
yang lainnya terlarut dalam kopi ini.” Di lain waktu, dia akhirnya mau berbagi
rahasia kenikmatan kopinya.
“Perpaduan
pahit dan manis yang harmonis akan melahirkan rasa nikmat, karena keduanya bisa
saling mengimbangi. Aku yakin kau tidak akan menyukainya jika salah satu dari
keduanya berlebihan.” Hem... Lama aku berusaha mencerna kata-kata itu. Dan
sayangnya, aku tak kunjung memahami maksudnya, bahkan hingga dia tak lagi bisa
kutemui. Masalah muncul saat aku tak lagi bisa menikmati kopi racikannya. Rasa
ketergantungan pada kopi racikannya membuatku menderita. Seperti candu yang
menjalar di sekujur urat-urat saraf, dan rasa sakit yang tak tertahankan karena
ketagihan kafeinnya.
Sejak
saat itu, aku tidak mau lagi terikat pada satu rasa racikan kopi. Mencari rasa
yang cocok tidaklah mudah. Butuh satu tangan yang benar-benar mengerti takaran
dan sesuai dengan selera. Namun hingga saat ini aku belum bisa menemukannya.
Ada beberapa perempuan yang pernah menawariku kopi. Siska misalnya, dia
menyuguhkan kopi dengan campuran cream. Aku justru
merasa nek dengan kopi itu. Lain lagi dengan Poppy, tidak mau repot untuk
meracik, dia menyeduhkan satu sachet kopi
instan untukku. Dan ada beberapa orang lagi, yang semuanya sama sekali tak bisa
menandingi kopi yang disajikan oleh Zailah.
Akhirnya
kuputuskan untuk menikmati kopi yang ada di warung-warung. Rasanya cukup
menggiurkan, meskipun aku tahu, rasa yang ditawarkannya hanyalah rasa yang semu
demi kepentingan komersil. Disuguhkan dalam polesan yang menarik agar kopi itu
laku. Tapi aku tak mau tahu, yang pastinya rasa sakit di kepala akibat
ketagihan kafein akan hilang seiring dengan mengalirnya setiap tegukan ke dalam
tenggorokan.
Kini
aku kembali mendapat tawaran kopi yang sepertinya memiliki rasa spesial. Aku
sudah mencoba tak menggubrisnya, tapi lagi-lagi dia tak mau menyerah. Hingga
sekali waktu aku benar-benar tergoda untuk mampir di tempatnya,
bermaksud mencicipi secangkir kopi yang selama ini dia tawarkan padaku. Benar
juga, ternyata tidak mengecewakan. Caranya meracik secangkir kopi, dan
menghidangkannya, belum pernah aku menemukan citarasa yang khas seperti itu.
Jadilah
sore itu kami menikmati kopi di dalam gelas masing-masing, sambil duduk pada
sebuah kursi yang terbuat dari sebatang pohon dibelah dua yang ada di
pekarangan rumahnya. Perasaan tenang menjalar dalam setiap tegukan kopi yang
masuk ke tenggorokan. Takkan sama rasanya saat berada di warung kopi yang
dipenuhi oleh kepulan asap rokok dan riuhnya percakapan orang-orang. Di sini,
semilir angin yang berhembus mengibaskan rambutnya hingga nyaris mengenai wajahku.
Aroma rambutnya lembut membius, menimbulkan getaran halus dari rongga dadaku.
Namun tiba-tiba sehelai daun kering terjatuh dan nyaris menimpa gelas kopiku.
Segera kualihkan perhatianku darinya.
“Kopi
itu disajikan dengan penuh rasa estetis. Hanya orang-orang yang memiliki
perasaan lembut yang mampu menciptakan harmonisasi antara pahit dan manis dalam
segelas kopi,” wajahnya tertunduk memperhatikan pasir yang dia kibas-kibaskan
menggunakan ujung sepatunya.
“Owh
yah, kau sepertinya banyak tahu tentang kopi,” Aku tertarik menanggapinya. Dia
menggelengkan kepala tanpa menoleh padaku.
“Sedikit.
Dulu papaku sering memintaku membuatkannya secangkir kopi. Entah kenapa
laki-laki begitu suka menjadi pecandu kopi.” Tuturnya.
“Sejak
kapan kau suka minum kopi?” Tanyanya kemudian. Dia menoleh padaku, menunggu
jawaban dari pertanyaannya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu pasti,
sejak kapan waktunya.
Dimensi
waktu yang terus bergulir, membingkai setiap catatan kehidupan. Seperti catatan
kehidupan kami berdua. Semakin lama terasa aku kian menikmati rasa khas
kopi yang disuguhkannya. Entahlah, apakah memang hanya sekedar pada kopi, atau
mungkin juga sorot matanya yang selalu berbinar ketika menatapku. Demikianlah,
kebiasaan akan melahirkan ketergantungan. Walau pun pada mulanya aku hanya
iseng menerima tawaran darinya, namun pada akhirnya aku benar-benar mencarinya.
Seperti sore ini, aku ingin mampir untuk kembali menikmati kopi hasil
racikannya. Tapi kali ini ternyata berbeda dari biasanya. Saat aku hendak melangkah
masuk ke pekarangan rumahnya, kulihat dia sedang tidak sendiri. Ada seorang
laki-laki dan dua gelas kopi, persis pada tempat di mana kami berdua selalu
menikmati kopi. Sebelum dia menyadari kehadiranku di tempat itu, segera aku
berbalik dan melangkah pergi. Di persimpangan empat belok ke kiri, lalu ke
kanan, kembali ke warung kopi.
Komentar
Posting Komentar