Oleh:
Pire' Paressei
Setiap orang pasti punya cita-cita, dari yang paling sederhana hingga cita-cita yang terbesar. Sungguh wajar, jika kehidupan yang hanya sekali ini dimanfaatkan dengan sesuatu yang sangat diharapkan atau diidam-idamkan, atau biasa kita sebut sebagai sebuah cita-cita.
Berbicara tentang cita-cita, sejak kecil saya sudah memiliki beberapa cita-cita dan terus berganti seiring pertambahan usia atau mungkin lebih tepatnya perkembangan pemikiran. Sejak kecil saya mengagumi tentara, dari film-film perjuangan kemerdekaan saya mengenal mereka. Pakaian dan postur tubuh yang gagah, dibumbui dengan cerita kekaguman keluarga serta orang-orang di sekitar membuat saya memutuskan untuk menjadi seorang tentara. Saya selalu bersemangat dengan hal-hal yang berkaitan dengan tentara, bahkan saya sudah berlatih fisik seperti push up, jogging, pull up dan sit up demi menyonsong cita-cita menjadi seorang prajurit berbaju loreng.
Namun cita-cita tersebut berubah saat saya duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP). Alasan perubahan cita-cita itu sederhana saja. Saat naik angkot sepulang sekolah, saya menyaksikan penyambutan tentara baru yang digiring masuk asrama. Melihat tantangan fisik dan mental yang mereka harus lalui membuat saya kembali berpikir. "Jika hidup yang hanya sekali ini saya habiskan untuk menjalaninya dengan kondisi seperti, sanggupkah saya?". Pikiran itu yang semakin hari kian membuat saya pelan-pelan memutuskan untuk mengurungkan niat menjadi seorang tentara.
Lepas bercita-cita jadi tentara, saya kemudian memiliki obsesi baru. Mulanya, ketika saya membaca sebuah buku di perpustakaan sekolah yang judulnya Pulau Cantik di Negeriku. Dalam buku tersebut menceritakan kisah seorang remaja yang diajak untuk ikut berlayar oleh abangnya yang merupakan seorang nahkoda. Dari kisah itu saya berpikir jika menjadi seorang pelaut memberikan peluang untuk bepergian di banyak tempat. Cita-cita baru saya adalah seorang pelaut. Walaupun pada akhirnya cita-cita itu kemudian juga saya urungkan. Alasannya, suatu malam saya mendengar kisah acara curhatan di radio yang mengisahkan seorang perempuan kesepian terpaksa menyewa lelaki panggilan karena merasa kesepian ditinggal berlayar oleh sang suami. Sejak saat itu saya menghapus pelaut dari daftar cita-cita saya.
Bertemu dengan paman yang berasal dari luar kota, yang bekerja sebagai arsitek di salah satu perusahaan swasta membuat saya banting steer cita-cita menjadi seorang atsitek.Kegemaran saya menggambar menjadi alasan untuk itu. Jadilah saya menetapkan cita-cita arsitek sebagai pilihan, dan setelah lulus sekolah menengah pertama, saya mendaftar di sekolah menengah kejuruan (SMK) mengambil jurusan Teknik Menggambar Bangunan.
Berkas pendaftaran saya stor ke bagian tata usaha SMK tersebut, dan masih seperti sekarang, penentuan jurusan saat itu berdasarkan nilai ebtanas murni alias NEM. Dan maaf, pada saat itu untuk jurusan Teknik Menggambar Bangunan adalah jurusan dengan kriteria NEM terendah dari semua jurusan. Saat itu, Jurusan favorit adalah otomotif, dan NEM saya memenuhi untuk masuk ke jurusan tersebut. Percaya atau tidak, saat pengumpulan berkas pendaftaran itu saya dibisiki oleh panitia penerimaan siswa untuk memilih jurusan otomotif karena NEM saya cukup untuk masuk jurusan tersebut, dan hebatnya seketika itu saya terpengaruh. Jadilah saya sebagai siswa jurusan teknik otomotif. Cita-cita menjadi arsitek?. Hingga hari ini, saat saya menulis tulisan ini, saya masih terkadang menyesali sikap saya saat itu.
Bukan menyesali diri karena gagal menjadi seorang arsitek, tetapi menyesali sikap pimplan itu. Ada sebuah petuah dari orang bijak yang mengatakan, jika kita sudah menyadari kesalahan dan merasa malu telah melakukannya, maka itu adalah sebuah tanda perkembangan kedewasaan dalam berpikir. Lalu, terkait cita-cita, apa sebenarnya yang menjadi cita-cita dalam hidup ini?
Semakin ke sini, saya belajar memaknai cita-cita, saya mengakui bahwa menjadi tentara, dokter, arsitek, pelaut dan sejumlah profesi yang membanggakan lainnya bukanlah sebuah garansi mencapai kebahagiaan hidup. Profesor Kamaruddin Hidayat dalam bukunya Life's Journey menyatakan bahwa tiga pilar kebahagiaan seseorang adalah having a good family life, having a good job, dan having good friends and community. Nah, apakah ketiga hal itu sudah anda capai dalam hidup ini? Anda yang tahu jawabannya masing-masing, sebab andalah yang menjalaninya.
Komentar
Posting Komentar