Oleh: Pire’ Paressei
“Kita
hanya perlu seribu ringgit untuk kembali ke sana, Sani. Macam mana boleh kita
dapat duit kalau kau tidak mau bantu mamak sama bapak untuk cari duit.” Ocehan
ibunya di pagi hari setiap kali dia telat bangun dan bermalas-malasan di atas
dipan kayunya. Hawa dingin yang menusuk tulang-tulangnya semalaman masih
terasa, sehelai sarung lusuh diraihnya untuk menutup bagian kakinya. Antara
tidur dan sadar, dia masih mendengar sayup-sayup suara ibunya dari belakang.
Seperti biasa, di pagi hari ibunya sudah menjerang air untuk membuat kopi buat
si bapak. Sani hampir terlelap menikmati hangat di balik sarung ketika
tiba-tiba ibunya menarik sarung itu dan mengguncang tubuhnya.
Dengan
langkah malas dia menuju ke tempat sederetan drum penampungan air hujan, lalu
membasuh wajahnya. Seketika dingin menusuk kulit wajahnya. Air yang terisi
penuh pada drum itu menandakan jika semalam turun hujan. Kantuknya berangsur
pergi, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, tanah yang basah dan genangan
air belum sepenuhnya menyerap ke dalam tanah. Dan dia bersyukur tidak perlu
jauh-jauh ke sumur untuk mencari air, karena drum-drum penampungan air di
rumahnya telah terisi penuh.
“Bapak
kemana mak?” Tanyanya kemudian saat dia tak mendapati si bapak di tempat ia
biasa duduk menunggu kopi yang diseduhkan oleh ibunya.
“Ke
kampung Lautan, ada kerjaan di sana. Kemarin ada om Tomi panggil dia untuk
kerja rumah di sana. Mungkin sore baru dia balik.” Terang ibunya sambil menuang
air dari teko.
“Makanya
mamak mau kamu ke kali untuk ambil kerikil lagi, karena itu yang punya mobil
sudah janji mau ambil kita punya kerikil sebentar sore.” Lanjut perempuan itu.
Sani diam mendengarkan keterangan ibunya, tatapannya kosong. Mau tidak mau, dia
harus membantu ibunya, kejar target mengumpulkan kerikil sebanyak-banyaknya
untuk dijual. Dengan langkah berat dia berjalan meraih peralatan lalu menuju
kali tempat biasa mengumpulkan kerikil.
“Berapa
mereka bayar kita punya kerikil mak?” Tanya Sani seusai membersihkan diri dan
mengganti pakaian. Usai menaikkan kerikil yang dia kumpulkan sejak pagi,
akhirnya kini saatnya untuk bersantai sejenak.
“Hadoooh...,
mamak pun belum tau pasal mereka cakap besok baru mereka mau bayar. Apa macamlah orang-orang itu, senang saja
dia orang mau beutang. Kita yang sengsara bekerja.” Keluh ibunya dengan logat kental
bahasa dari negeri jiran.
Sani
menghela napas panjang, lalu meninggalkan si ibu yang masih berkerut mukanya. Anak
laki-laki tanggung ini duduk di atas bangku kayu yang beberapa hari lalu
dibuatnya. Disulutnya sepotong rokok murahan milik bapaknya yang tertinggal
atas kusen jendela. Asap putih mengepul dari mulutnya, membumbung di udara lalu
hilang, entah tertiup angin atau sudah tertutup gelap langit-langit rumah
setengah jadi itu. Sani tidak sempat memikirkan kemana perginya asap rokok itu.
Yang ada di benaknya hanya berpikir kapan bisa mengumpulkan banyak uang untuk
ongkos kembali ke Malaysia, meninggalkan kesulitan yang menghimpitnya di tempat
ini.
Seribu
ringgit, iya, hanya seribu. Itu bukanlah angka yang besar. Apalah artinnya jika
dibandingkan dengan penghasilannya mengumpulkan kerikil yang mungkin dapat dia
peroleh bayaran lima puluh ribu rupiah untuk satu kali loading. Tapi mengapa angka seribu ringgit begitu sulit ia capai?.
Sekali
waktu, ada seorang kenalan yang bekerja di sebuah perusahaan swasta dan dia
sempat menanyakan jika saja ada lowongan kerja di sana. Namun harapan untuk
bisa bekerja di sebuah perusahaan seketika itu juga menguap.
“Syarat
untuk bekerja di sana harus memiliki ijazah sekolah menengah atas, kamu siapkan
saja nanti saya bawa ke PT.” Dan lagi-lagi Sani hanya menarik napas dalam,
berat rasanya, harapan mencari pendapatan yang lebih bagus lagi-lagi menemui
titik buntu.
Selama
berada di negeri tetangga, dia sama sekali tidak pernah mengikuti pendidikan
formal. Waktu kecilnya dia lalui di camp perkebunan kelapa sawit. Saat
anak-anak sebayanya aktif belajar di kelas, Sani justru asyik berkutat dengan
biji-biji buah kelapa sawit untuk dia kumpulkann lalu ditimbang. Mengenal huruf
dan angka hanya dia dapatkan dari guru sukarela yang ditugaskan oleh pemerintah
Indonesia untuk mengajar di daerah perbatasan. Dia tidak pernah merasa
pendidikan di sekolah dan selembar ijazah itu penting baginya. Di camp kebun
kelapa sawit dia dengan mudah mendapatkan ratusan bahkan ribuan ringgit tanpa
perlu ke sekolah.
Itu
sebelum dia dan seisi camp kelapa sawit itu disweeping oleh polisi diraja
Malaysia, beberapa orang yang tidak dapat menunjukkan izin bekerja yang resmi
akhirnya dideportasi ke tanah air. Dan itulah awalnya dia berada di sini,
sebuah kabupaten yang berada di perbatasan utara indonesia dan malaysia,
kabupaten Nunukan. Pintu yang merupakan gerbang bagi para pekerja yang hendak
mengadu nasib di negeri tetangga.
Pagi
yang dingin kembali menghampiri, mengusir mimpi-mimpi Sani. Seperti biasa,
tidurnya akan seketika terusik ketika ibunya dengan celoteh yang khas tentang
beberapa ringgit kembali berisik di pagi hari. “Kita hanya perlu seribu ringgit
untuk kembali ke sana Sani”, dia sudah hapal dengan kata-kata itu. Tapi angka
seribu ringgit tetaplah sulit untuk diraih olehnya. Hanya akan terwujud di
dalam mimpi yang setiap pagi dibuyarkan oleh celoteh ibunya.
Komentar
Posting Komentar