Oleh: Pire’ Paressei “Sesekali mampirlah ke tempatku. Aku akan menghidangkan secangkir kopi untukmu.” Sebuah pesan di kotak masuk akun jejaring sosialku. Untuk kesekian kalinya dia menawariku kopi buatannya. Seharusnya itu adalah tawaran yang menarik. Tapi entahlah, sampai saat ini aku belum berminat menerimanya. “Aku yakin, kopi racikanku tidak akan kalah lezat dibandingkan kopi-kopi yang sering kau minum di warung kopi.” Sederet kalimat yang sengaja memancing minat. Mungkin saja. “Tapi ini bukanlah sekedar rasa secangkir kopi, ini adalah prinsip.” Hanya dalam benakku. Tentu aku tak mau mengecewakannya dengan mengatakan itu langsung padanya. Menikmati kopi di warung-warung yang berbeda melahirkan rasa tersendiri. Aku merasa dengan beragamnya tempat yang kusinggahi, maka banyak pula rasa yang kudapat dari masing-masing gelas kopi itu. Tidak monoton dan membosankan. Dan yang terpenting adalah tak ada rasa yang mengikat. Rasa terikat yang membuat ...