Langsung ke konten utama

Postingan

Sebuah Cita-Cita

Oleh: Pire' Paressei Setiap orang pasti punya cita-cita, dari yang paling sederhana hingga cita-cita yang terbesar. Sungguh wajar, jika kehidupan yang hanya sekali ini dimanfaatkan dengan sesuatu yang sangat diharapkan atau diidam-idamkan, atau biasa kita sebut sebagai sebuah cita-cita. Berbicara tentang cita-cita, sejak kecil saya sudah memiliki beberapa cita-cita dan terus berganti seiring pertambahan usia atau mungkin lebih tepatnya perkembangan pemikiran. Sejak kecil saya mengagumi tentara, dari film-film perjuangan kemerdekaan saya mengenal mereka. Pakaian dan postur tubuh yang gagah, dibumbui dengan cerita kekaguman keluarga serta orang-orang di sekitar membuat saya memutuskan untuk menjadi seorang tentara. Saya selalu bersemangat dengan hal-hal yang berkaitan dengan tentara, bahkan saya sudah berlatih fisik seperti push up, jogging, pull up dan sit up demi menyonsong cita-cita menjadi seorang prajurit berbaju loreng. Namun cita-cita tersebut berubah saat saya du
Postingan terbaru

Perempuan dan Secangkir Kopi

Oleh: Pire’ Paressei “Sesekali mampirlah ke tempatku. Aku akan menghidangkan secangkir kopi untukmu.” Sebuah pesan di kotak masuk akun jejaring sosialku. Untuk kesekian kalinya dia menawariku kopi buatannya. Seharusnya itu adalah tawaran yang menarik. Tapi entahlah, sampai saat ini aku belum berminat menerimanya. “Aku yakin, kopi racikanku tidak akan kalah lezat dibandingkan kopi-kopi yang sering kau minum di warung kopi.” Sederet kalimat yang sengaja memancing minat. Mungkin saja. “Tapi ini bukanlah sekedar rasa secangkir kopi, ini adalah prinsip.” Hanya dalam benakku. Tentu aku tak mau mengecewakannya dengan mengatakan itu langsung padanya. Menikmati kopi di warung-warung yang berbeda melahirkan rasa tersendiri. Aku merasa dengan beragamnya tempat yang kusinggahi, maka banyak pula rasa yang kudapat dari masing-masing gelas kopi itu. Tidak monoton dan membosankan. Dan yang terpenting adalah tak ada rasa yang mengikat. Rasa terikat yang membuat ketergantungan, yan

Rindu Seribu Ringgit

Oleh: Pire’ Paressei “Kita hanya perlu seribu ringgit untuk kembali ke sana, Sani. Macam mana boleh kita dapat duit kalau kau tidak mau bantu mamak sama bapak untuk cari duit.” Ocehan ibunya di pagi hari setiap kali dia telat bangun dan bermalas-malasan di atas dipan kayunya. Hawa dingin yang menusuk tulang-tulangnya semalaman masih terasa, sehelai sarung lusuh diraihnya untuk menutup bagian kakinya. Antara tidur dan sadar, dia masih mendengar sayup-sayup suara ibunya dari belakang. Seperti biasa, di pagi hari ibunya sudah menjerang air untuk membuat kopi buat si bapak. Sani hampir terlelap menikmati hangat di balik sarung ketika tiba-tiba ibunya menarik sarung itu dan mengguncang tubuhnya. Dengan langkah malas dia menuju ke tempat sederetan drum penampungan air hujan, lalu membasuh wajahnya. Seketika dingin menusuk kulit wajahnya. Air yang terisi penuh pada drum itu menandakan jika semalam turun hujan. Kantuknya berangsur pergi, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, tanah