Oleh: Pire' Paressei Setiap orang pasti punya cita-cita, dari yang paling sederhana hingga cita-cita yang terbesar. Sungguh wajar, jika kehidupan yang hanya sekali ini dimanfaatkan dengan sesuatu yang sangat diharapkan atau diidam-idamkan, atau biasa kita sebut sebagai sebuah cita-cita. Berbicara tentang cita-cita, sejak kecil saya sudah memiliki beberapa cita-cita dan terus berganti seiring pertambahan usia atau mungkin lebih tepatnya perkembangan pemikiran. Sejak kecil saya mengagumi tentara, dari film-film perjuangan kemerdekaan saya mengenal mereka. Pakaian dan postur tubuh yang gagah, dibumbui dengan cerita kekaguman keluarga serta orang-orang di sekitar membuat saya memutuskan untuk menjadi seorang tentara. Saya selalu bersemangat dengan hal-hal yang berkaitan dengan tentara, bahkan saya sudah berlatih fisik seperti push up, jogging, pull up dan sit up demi menyonsong cita-cita menjadi seorang prajurit berbaju loreng. Namun cita-cita tersebut berubah saat saya du
Oleh: Pire’ Paressei “Sesekali mampirlah ke tempatku. Aku akan menghidangkan secangkir kopi untukmu.” Sebuah pesan di kotak masuk akun jejaring sosialku. Untuk kesekian kalinya dia menawariku kopi buatannya. Seharusnya itu adalah tawaran yang menarik. Tapi entahlah, sampai saat ini aku belum berminat menerimanya. “Aku yakin, kopi racikanku tidak akan kalah lezat dibandingkan kopi-kopi yang sering kau minum di warung kopi.” Sederet kalimat yang sengaja memancing minat. Mungkin saja. “Tapi ini bukanlah sekedar rasa secangkir kopi, ini adalah prinsip.” Hanya dalam benakku. Tentu aku tak mau mengecewakannya dengan mengatakan itu langsung padanya. Menikmati kopi di warung-warung yang berbeda melahirkan rasa tersendiri. Aku merasa dengan beragamnya tempat yang kusinggahi, maka banyak pula rasa yang kudapat dari masing-masing gelas kopi itu. Tidak monoton dan membosankan. Dan yang terpenting adalah tak ada rasa yang mengikat. Rasa terikat yang membuat ketergantungan, yan